Selasa, 10 Februari 2009

Afifah Afra, Menyiarkan Islam Lewat Novel


Banyak cara menyiarkan agama Islam, salah satunya lewat novel, seperti apa yang dilakukan Afifah Afra, penulis fiksi dari Solo Jawa Tengah, dalam rangkaian kegiatan musyawarah cabang dan milad I Forum Lingkar Pena (FLP) Pati dan membedah novel terbarunya, De Winst, di Pendopo Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Ahad (9/2).
Menurutnya, dengan menyiarkan Islam lewat karya fiksi atau novel, secara tidak sadar karakter keislaman masyarakat yang membacanya akan terbantuk. "Mereka terbentuk tanpa tergurui," katanya.
Dalam novel itu diceritakan, kisah pertarungan ideologi besar dunia, seperti Kapitalisme, Komunisme-Sosialisme, Ekonomi Islam, yang katanya, menjadi jalan tengah dari dua kubu sebelumnya. RM Rangga Puruhita adalah produk ekonomi kapitalisme, ketika pulang, ia melihat betapa kapitalisme telah begitu kuat mencengkeram pribumi. Lantas muncul Jatmiko yang membawa ide penentangan lewat ideologi sosialis-komunisnya.
Rangga menjadi berhadap-hadapan dengan Jatmiko, serta kubu Jatmiko—Sekar (tunangan Rangga) dan Kresna, juga Pratiwi. Di tengah-tengah mereka, ternyata ada beberapa saudagar muslim, yakni pada pengusaha batik. Rangga terpikat kepada konsep usaha yang mereka tempuh, yang ternyata menerapkan pola-pola bisnis Islam.
Dalam novel itu juga diceritakan perihak asmara, namun Afifah kemudian mengingatkan bahwa kisah itu hanya sebagai pewarna dalam novelnya. "Jangan terjebak dengan gombalisme dalam novel, ada pelajaran yang lebih berharga," jelasnya kepada Widi, salah seorang penanya.
Rencannya, ia akan menulis novel dengan tema yang lebih luas, tidak hanya tentang dunia remaja. "Meskipun begitu, saya tidak akan meninggalkan pembahsan dunia remaja dalam novel saya," kata penulis buku non fiksi “Panduan Amal Wanita Shalihat” ini. (zak)

Senin, 12 Januari 2009

Dari Wokrshop Sastra Bersama Hysteris Semarang



Afrizal : Membebaskan Makna Pada Kata

Sunyi menerka peserta. Sunyi itu membawa hanyut pada pusaran imajinasi yang tersaji. “Rsi” menyampaikan wejangan dengan banyak cara. Dari gaya low profil sampai narsis abis. “Penulis harus berani membelot,” begitu sabda Bangdung Mawardi “Si Gila Nulis”.
Suluk itu terangkum dalam sebuah wokrshop singkat, pagi sampai sore, Sabtu (20/12/08). Pada sebuah kompleks perumahan di Gunung Pati Semarang Jawa Tengah (lupa namanya, hehe), digelar wokrshop sastra, penulisan esai, cerpen, dan puisi. Eko Tunas berceramah tentang teknik dan teknis menulis cerpen, Bandung Mawardi memplokamirkan “Sumpah Penulis”, dan “Sesepuh Puisi Gelap” Afrizal Malna bergaya aneh menyuguhkan puisi bergerak dengan Meteran (alat ukur).
Banyak kata menguar di sana, yang tertangkap panca indera mungkin sedikit, namun berkesan dan menyimpan bara semangat. Pertama, Eko Tunas, secara panjang –kali—lebar menguraikan cara menulis cerpen (tapi saya datangnya telat, jadi rada ngak nyambung, hehe). Diakhir ceramahnya seniman yang barusan berkoar-koar di berbagai daerah dengan “Monolog Krosi”—nya berpesan agar generasi muda mengisi waktu kosongnya untuk menulis puisi. ”Kalo saat kesepian atau sendirian tulis puisi. Dengarkan suara angin berdesir, atau apalah. Jangan asal ketemu lalu gabug-gabug (maksudnya, pacaran terus, Red),” katane.
Yang paling aneh, ngece, nantangan, juga asyik adalah Cak Kabut, sapaannya pada kawan penulis. Cak Kabut sesumbar, menantang –memaksa—peserta mengeluarkan ide-idenya. “Ini penting untuk memudahkan menulis esai,”katanya lagi. Lalu dengan lagak semaunya memberikan jurus ampuh menulis esai. “Berpikirlah referensial,” titah Cak Kabut. “Ini yang saya pesankan pada penulis pemula,”. Berpikir referensial, lanjutnya, berarti mencari pijakan buku untuk menguatkan esai yang akan ditulis. Setiap ide harus mempunyai referesi yang kuat. Untuk menghasilkam esai dibutuhkan waktu sekitar 2 jam (baginya, mungkin sehari bagi pemula).
Cak Kabut menyayangkan penghargaan yang rendah pada esai Goenawan Muhammad dengan Catatan Pinggirnya di Majalah Tempo. Mas Gun membutuhkan waktu 3 jam untuk satu esai dengan referensi berjibun (bahasa Inggris pula). Bukti lemahnya apresiasia adalah minimnya orang membaca esainya. Hanya menjadi kumpulan kertas dan buku.
Yang ditunggu-tunggu akhirnya, datang juga. Terakhir sekaligus menutup workshop adalah Afrizal Malna. Unik sekali pelatihan yang diberikan. Panitia diminta menyajikan meteran (untuk apa?). Nah, ini paling seru dan membingungkan bagi saya. Afrizal meminta beberapa orang maju ke depan dan mengambil sebuah meteran. Ia memerintahkan beraksi menggunakan meteran. ”Terserah kamu, apakan meteran itu,” perintahnya.
Hasilnya juga unik ada yang terkesan klise juga. Ada yang mempersepsikannya sebagai tali, sehingga dia bisa gantung diri. Ada yang menjadikannya pembugkam mulut. Sampai melihatnya layakna tasbih yang siap diuntai sebagai sarana mengingatnya. Peserta yang telah beraksi diminta untuk membuat puisi dan membacakannya, dengan tema aksinya. Ia menafsiri pada setiap aksi peserta terkandung sebuah pemikiran yang mengusai dirinya. Pemikiran itu memancar melalui aksi.
Pada akhir pelatihan Afrizal meminta peserta berdiri dan berjalan, lalu mengatakan apa yang dilihat di depannya (entah apa maksudnya). Akhirnya, ia pun membeberkan maksudnya. Melihat kebingungan peserta membuat puisi, Afrizal berkesimpulan : memberbaskan makna pada kata. Agak mirip dengan Kredo Sutardji Calzoum Bachri, mengembalikan kata pada kata.
”Menulis puisi tidak sulit, tidak usah kebingungan dengan kata-kata. Kata-kata ada disekitar kita. Apa yang kita bingungkan?,” tanyanya sekaligus menutup workshop.
Saya merasa bingung sampai saat ini mencerna maksud Afrizal. Kata-kata yang agak aneh, bagi saya, (mungkin tidak pada orang lain, apalagi yang sejalan dengannya). Tapi satu yang pasti, saya masih kesulitan memahami, setidaknya untuk saat ini (hehe, dasar telmi).