Selasa, 30 Desember 2008

Cinta Itu Menggerakkanku*)

Oleh : Zakki Amali

Menjelang Rahmat, adikku, dikhitan, sepenggal pesan singkat datang dari Ais. “Al, bisa ngak kamu jemput aku di Kediri?.” Sebentar ku baca, terbersit pikiran itu hanya gurauan. Ku biarkan saja lewat. Ais dan aku telah bersahabat lama. Persahabatan itu terbit di saat kelas tiga Aliyah. Persahabatan itu terawat dan erat terjaga. Saling cerita dan tukar pengalaman mengiringi langkah kami. Bukan hal aneh jika ia meminta bantuanku pada sebuah masalah yang terkadang menyulitkan. Tetapi, pesan itu diulanginya sampai tiga kali dengan susunan kata yang berbeda namun intinya satu, minta tolong dijemput di Kediri. Pesan itu menohok kesadaranku akan sebuah tempat yang belum pernah ku tapaki.

Tidak berapa lama hp ku berdenting, terlihat di layar nama Ais memanggil. “Assalamual’aikum, bagaimana al, mau jemput ku di Kediri,” tanyanya sendu. “Di sana ngak ada yang ngantar to?,” jawabku mengelak halus. “Omku kakinya sakit, maunya sih dianter pake mobil, tapi gimana,” “Ya, dah nanti ku jemput,” jawabku spontan. Ku baru merasa jawaban itu penuh resiko, setelah merenung sejenak selepas sms—an. Sejujurnya keputusan itu ku ambil dengan berat hati. Ku hanya mempunyai sedikit uang untuk biaya transportasi ke sana, hanya lima puluh ribu rupiah. Ku perkirakan uang itu hanya dapat membawaku berangkat. Biaya pulangnya, entah ku tak tahu. Ku juga tak tahu kenapa kata itu meluncur tanpa ku pertimbangkan dengan matang. Ada apa ini semua! Sepertinya Tuhan telah menggariskan kata itu untuknya.

Lima hari lagi adikku dikhitan. Aku sebagai kakak lelaki satu-satunya mau tidak mau harus membantu. Ya benar, ada keluarga lain berdatangan membantu. Namun, sebagai seorang anak pertama yang telah dewasa alangkah tidak sepantasnya ku tinggalkan acara penting itu, minimal hari-hari menjelang acara. Tradisi di daerah Jawa memang seperti itu. Ketika ada gawe, anggota keluarga bahu-membahu menyukseskan acara. Bahkan keluarga yang berada di lain daerah pun datang, gotong royong. Pikiranku galau tak mampu menangkap sesuatu yang menggerakkanku. Aku tak tahu. Seperti ada yang mendorongku, kuat sekali. Jasadku kelu menolak permintaannya. Ku putuskan untuk menjemputnya.

Keberangkatan dari Kudus ke Kediri kupersiapkan matang. Alamat rumah Pak Amir Faruq di Kediri, Om Ais, ku minta sedetail mungkin kepada Ais. Mulai dari bus yang harus ku naiki dari Kudus ke Kediri, sampai bertanya ke teman-teman yang pernah berdomisili di sana. Sungguh perjalanan yang mendebarkan.

Sabtu pukul 8 pagi, empat hari sebelum adikku dikhitan, ku berangkat dari Kudus menuju Kediri. Terminal pertama yang kusinggahi adalah terminal Induk Kudus. Sesuai petunjuk aku harus naik bus jurusan Tuban Jawa Timur. Setelah itu naik bus jurusan Jombang, berhenti di terminal Jombang, dan terakhir naik bus jurusan Kediri, lalu turun di Papar Pancasila, begitu arahan yang ku terima dari Ais.

Uch… Siang itu udara terasa panas sekali, bus menitik lamat roda demi roda di jalur Pantura. Kebetulan bus yang ku naiki tidak ber-ac. Terkadang rasa muntah menyembul seketika. Guncangan bus membuat perutku mual. Ditambah dengan aroma asin laut yang menyengat. Puncaknya, ketika melewati bibir laut di daerah Rembang, isi diperutku meluncur naik. Ku tahan pelan, dan weaaakkk…, cairan mirip bubur itu tumpah ruah di dalam plastik hitam yang telah ku siapkan. Cairan itu kugeletakkan di bawah tempat duduk. ”Biasanya kernet akan membersihkan bus, termasuk cairan tadi,” pikirku.

Delapan jam ku duduk di bus. Kenyang rasanya ku duduk, terkadang tidur dan termangu, atau memerhatikan pemberhentian berikutnya dengan teliti. Panas dan pengap ku lahap, hingga sampai di Papar Pancasila, entah tepatnya kabupaten apa aku tak tahu, yang ku ingat hanya pesan Ais untuk turun di situ, lalu mencari sungai Brantas dan menyebrang.

Perjalananku akhirnya menerbitkan kelegaan. Delapan jam ku terombang ambing, di atas bus, pindah dari terminal satu ke terminal lain, cemas, was-was mengiringi di sana. Apakah ku dapat sampai di sana? Janji tlah ku lafalkan dan Ais pasti menunggu. Yang paling ku khawatirkan adalah keluarga di rumah. Bapak yang menata rumah sendirian siang malam. Karena hanya beliau yang paham penempatan kain yang berserakan dan yang berada dikarung. Pekerjaan keluargaku adalah konveksi. Wajar bila banyak kain, benang, mesin jahir, bordir, berada di dalam rumahku. Sementara Ibu usianya telah lanjut, tidak mampu mengangkat sesuatu yang berar. Hatiku berkecamuk membayangkannya. Ada tarikan untuk kembali dan meneruskan langkahku ke Kediri. Ketika ku ingat orang tua, ingin segera kembali, membantunya dan memersiapkan acara itu. Tetapi aku selalu tak berdaya untuk membalikkan langkahku. Seperti boneka. Itulah yang kurasakan. Ku merasa bersalah pada mereka semua. Dengan berat hati ku tetap melaju menjemputnya. Mungkin ku berdoa saja agar mereka dimudahkan Allah dalam semua urusan dan mengampuni dosa-dosanya. Semoga doaku itu menjadi penebus kesalahanku itu. Amin.

Pukul empat sore ku sampai di rumah Pak Amir. Lengkap dengan Ais dan adik sepupunya, Diana, menjemputku di pinggir sungai. Terpancar kekagetan dari wajah Ais, melihat ku datang. Ku terka, ia hendak berkata tak percaya melihatku sampai di Kediri. Agak malu ia menyambutku. Kita berjalan beriringan sembari bercakap dan berkenalan dengan sepupunya. Rumah Pak Amir ternyata tak jauh dari sungai, sekitar 100 M.

Tak percaya! Kata itu membaur di setiap gerakku di rumah Pak Amir. Dan memang tak hanya aku yang merasa begitu. Fraira, teman sekelasku ketika Aliyah pun demikian. Ia mengirim sms kepadaku dan Ais. Fraira terperangah mengetahui keberadaanku di Kediri. Tak hanya itu, aku yang telah mejemput seorang teman sampai di Kediri, tak pernah dipercayai teman-temanku. Sungguh tak pernah percaya. Fraira dan teman-temanku hanya percaya, bahwa Ais adalah pacarku. Ia menilai ku susah payah ke Kediri menjemput seorang kekasih, bukan teman.

***
Senin Pagi, setelah dua hari di sana, ku dan Ais beranjak pulang. Percakapan semalam dengan Pak Amir, benar-benar membuatku gelisah. Ia mencecarku dengan pertanyaan tajam dan mendalam, layaknya seorang tersangka. “Awakmu ke sini ada keperluan apa,” tanya Pak Amir terasa menguji. Ku kira hanya basa-basi, “Bade silaturrahim,” jawabku. Ternyata ia tidak menyukai sikapku yang berbasa-basi ala orang Jawa. “Ogak salah mas, jujur saja awakmu ke sini karena Ais kan?” Pertanyaan itu membangunkan kesadaranku dan merenungi apa tujuanku ke sini. Pertanyaan itu bak sebuah hakikat. Menyikap makna dibalik realitas. Pertanyaan itu tak pernah ku duga meluncur di hadapanku dan Ais. Yang ku rasakan, hanya berazam menjemput Ais, tidak berlebih dan kurang. Tapi kenapa Pak Amir berkata demikian.

Hingga Sulton, temanku yang akrab dengan dunia mistis menjelaskannya. Dia seorang yang sangat ku percaya. Solusi yang diberikannya selalu membuatku lega. Dunia pesantren telah menjadikannya mengetahui banyak hal tentang hal tentang dunia sufi. ”Aku yakin kamu sebenarnya cinta sama Ais, tetapi kamu mengabaikan rasa itu. Kamu suka tetapi tidak sadar. Seseorang pasti akan menuju sekuat tenaga sesuatu yang dicintainya.”

Pak Amir dan Sulton seakan berkata bahwa aku mencintai Ais. Tapi, aku mengelak. Ia hanya teman. Belum saatnya memandang ia sebagai pendamping hidup . Mimpi-mimpiku belum terkejar. Entah kenapa hatiku merasa itu benar. Ku belum ingin melihat rona merah cinta Ais. Tapi rasa itu kian kuat. Apakah itu yang menggerakkanku sampai di Kediri. Semakin ku mejauhinya, ia semakin kuat menguasai hatiku, menggerakkanku. Aku tak tahu. Apa ini Tuhan!

Kudus, 27 Oktober 2008.
*)Buat Nilam Alina Istiqomah, kado ulang tahun yang tertunda.

Senin, 07 Juli 2008

Kampung Sastra

Ada kabar gembira bagi para pemikmat sastra,mau taw???
ehm, yang ini bukan hanya sajian nikmat yang akan menghilangkan lapar dan dahaga para penggila sastra, tapi menu yang satu ini dijamin akan membuat anda ketagihan untuk mencobanya lagi.
yeah, LPM Paradigma akan segera meluncurkan buletin perdananya yang diberi nama "KAMPUNG SASTRA". Jadi sabar saja, tunggu louncing'nya yeah...!

Jumat, 04 Juli 2008

Pentas Baca Puisi Pada Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar LPM Paradigma



Munawir Aziz, Pimpinan Umum LPM Paradigma saat membacakan puisinya pada PJTD (15/06 '08).







Sekretaris Redaksi LPM Paradigma, Zaki Amali, mengekspresikan sebuah puisi yang dibacakannya.



















Wahyudi Zulfi H., Pimpinan Umum LPM Paradigma Periode '07/'08 membacakan puisi pada PJTD (15/06'08)

Rabu, 02 Juli 2008

Berkelana di Negeri Tak Berwarna

Puisi Pia

Beringsut meneka, setiap jejak sejarah
Talutan nada dari hidung yang kian panjang adalah tanda,
hayat masih kudekap

Saat konfoi ketajaman zaman,
bukanlagi isyarat kekuatan negeri
Hanya ada tuntutan yang jauh dari tuntunan
Mungkin ini pertautan oleh zaman

Merah, kuning, hijau yang semua berubah menjadi tak berwarna,
karena ketiadaan ikhlas dan kejujuran

Inilah awal robohnya bangunan yang kian tua,
Indonesia..


2 juli 2008

Selasa, 01 Juli 2008

Berjejal di Negeri Gelap

Puisi Pia

Hening tak lagi ada
Semua kian sayup namun tetap bergema,
Diantara jejalan manusia yang angkuh

Di negeri ini kian tak kutemui nyata
Amarah yang mendarah terus nengalirkan gelora haus harta
Serakah
Binasah
diantara pertaruhan nyawa

Tersingkir dari medan karena kejujuran
Maju di depan dengan dekapan kebohongan

Negeri kami gelap
pengusanya buta

Negeri ini, memang negeri pecundang
pemerintah pecundang,
hakim pecundang,
jaksa pecundang,
dewan penghancur undang-undang,
dan rakyat ditendang


kudus, 1 juli 2008

Sabtu, 19 April 2008

Kecewa akanmu

Puisi Mita Masymin Araera

Sajak-sajak pertobatanmu sempat kau sodorkan padaku
Tetesan embun suci tak tertahan merembes membasahi kulit putih pipiku
Mengejawentahkan beban-beban yang sempat menghimpit gerak hidupku
Meluberkan angkuhnya batu kesombongan kalbu

Pikirku roda hidup telah berputar
Semua akan kembali semestinya
Kalaupun menangis air matalah yang menjadi saksi bisu
Bilapun senang sesungging senyum akan rela menyaksikan

Namun semua tak kumengerti saat kau proklamirkan pemberontakanmu Didepanberjutapasangmata kau kobarkan amarahmu
Secuil kebencianmu pada kekerasan yang sempat kau lontarkan padaku
Harusnya kau pikirkan kalau aku ini ada meski hanya berbentuk keyakinan tak berwujud


kudus,19 april 2008

Selasa, 11 Maret 2008

Pentas Budaya

Dalam rangka menyambut perhelatan Pilkada Kabupaten Kudus, Badan Eksekutif Mahasiswa UMK menggelar Bakti Budaya dan Malam Pentas Budaya yang digelar sejak Sabtu (8/3) sampai minggu (17/3) di Auditorium UMK. Agenda ini dimeriahkan dengan rangkaian acara Pasar Rakyat (Bazar Buku Pameran Produk Lokal) digelar dari hari sabtu (8/3) sampai sabtu (16/3) mendatang. Selain itu juga ada Seminar Nasional Pendidikan dengan tema "Pendidikan Alternatif, Apakah Sebuah Solusi?" Dalam kesempatan ini akan menghadirkan M. Bahruddin, pengelola SLTP Alternatif Qoryah Thayyibah, Dr. Nugroho, M.Psi., Pakar Kurikulum, serta Drs. Muh. Syafe'i, M.Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMK, sebagai pembicara. Selain itu juga Seminar bertemakan “Menuju Masyarakar Kudus Makmur, Sejahtera Dan Berbudaya” akan digelar pada Sabtu (15/3). Hadir sebagai narasumber Prof. Dr. dr. Sarjadi, Sp. Pa (Rektor UMK), Handoyo Setyo (Manager CORA PT. Djarum Kudus), Maskub (Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Kudus Se-Jabodetabek), dan Edy Supratno (Pengamat Sosial) bertempat di Ruang Seminar Lt.4 Gd. Rektorat UMK.

Pada akhir rangakian acara, Minggu (16/3), ditutup dengan Orasi Budaya oleh WS. Rendra, pembacaan puisi oleh Asa Jatimiko, Adit Kaleksanan feat Sony Wibisono (vionis), dan Fina Af’idatusshofa, serta penampilan seni rebana Terbang Papat.



 

Rasa Yang Terdalam

Puisi Wahyu Arzetha

Tak maukah kau tuk menjawabku
Aku yang menyapamu dengan bahasa kasih
Seperti bulan yang menyapa malam
Dengan kelembutan sinarnya
Mungkin ini bukan cinta
Tapi inilah rasa
Dari dasar hati yang terdalam
Sungguh tak lagi aku mengingkarinya
Meski tanpa pengakuan yang nyata

Jepara, 28 Nov. ’07

Selasa, 04 Maret 2008

Kerinduan Yang Mendalam

Cerpen Wahyu Arzetha

Tanpa terasa air mata ini mengalir dari sela-sela kelopak mata yang sejak tadi aku pejamkan. Terus mengalir dan semakin deras. Hingga membasahi sebagian dari wajahku. Sedang aku masih tetap pada posisiku semula, duduk bersila manghadap kiblat. Memang sehabis sholat Isya’ ini aku sengaja tidak segera bangkit dari tempatku. Entah apa yang telah menahanku, dan membawaku pada kegelisahan yang teramat dalam.

Kini tarikan nafasku semakin berat, dan itu menandakan bahwa aku memang sedang menangis. Makin lama hidung ini pun semakin basah. Dan semakin keras pula tarikan nafasku. Aku benar-benar tidak peduli dengan keadaan di sekitarku. Meski ada seorang kawan di sebelahku. Dia yang sudah lama menjadi temanku dalam menjalani hari-hariku. Dia adalah sahabatku di salah satu lembaga pers yang ada di kampusku. Ah, tapi ini memang persoalanku sendiri, dan mungkin tak perlu diketahui siapapun.

Aku rasa dia cukup pengertian dengan keadaanku sekarang. Terbukti dia tak menyapaku sedikitpun meski dia ada disampingku. Bahkan dia sekarang baru saja selesai mengerjakan sholat isya’ di tempat yang tadi aku tempati.

Selesai sholat dia langsung kembali menghadap komputer satu-satunya di tempat ini. Sebuah kantor redaksi yang hanya memiliki sebuah komputer. Dan hal itu membuat setiap kali menjelang penerbitan kita harus melakukan kerja lembur. Sebuah ruangan yang sebenarnya tak layak untuk disebut sebagai sebuah kantor redaksi. Karena ukuran ruangan yang hanya sekitar tiga kali tiga meter, hingga membuat kami sering kali merasa terlalu sempit. Yah, tapi itulah keadaan dari ruang kerja kami di sebuah lembaga pers mahasiswa.

Meski aku tak melihatnya secara langsung, tapi aku tahu kalau dia sedang asyik dengan kebiasaannya mengutak-atik komputer satu-satunya itu. Karena secara tidak langsung aku mendengar suara keyboard yang tak henti-hentinya dan tanpa mengenal lelah dia terus ditekan-tekan jari satu demi satu. Aku masih tertunduk dengan telapak tangan yang terus melekat di muka yang semakin terasa basah. Meski tanpa sesenggukan mataku terus mengalirkan mata airnya. Sekarang aku mencoba mengeringkan tangan dan sebagian wajahku yang sedari tadi telah basah. Meski perasaan gundah ini masih terus menggumpal dalam hati.

Ibu, entah kenapa kini aku sangat merindukanmu. Padahal belum lama aku masih menatapmu dalam setiap kesibukanmu. Tapi dengan tiba-tiba pula aku merasa bahwa aku begitu banyak berdosa padamu. Entah sudah berapa lama aku tidak mencium tanganmu saat aku beragkat ataupun saat aku pulang dari kuliah. Lama sekali. Bahkan aku sendiripun tlah lupa, kapan terakhir kali aku mencium tanganmu saat aku berpamitan untuk berangkat kuliah. Ibu, aku merindukanmu. Ibu, maafkan ananda yang sering kali melupakanmu.

Aku mencoba bangkit untuk mencari suasana baru. Aku langkahkan kaki keluar dari ruang dapur redaksi yang semakin terasa sempit akibat terbitan majalah edisi terbaru ini masih banyak yang belum terdistribusi. Sehingga masih banyak tumpukan majalah-majalah itu di sebagian lantai ruangan. Aku duduk di kursi yang ada di teras kantor. Meski sepi aku tetap saja tak bisa menikmati suasana yang ada. Akupun tak menghiraukan sapaan yang aku dengar dari salah seorang teman perempuanku. Anganku terus menerawang. Hanya ada bayang Bapak dan Ibuku di sana. Entah bagaimana keadaannya sekarang. Ibu, aku merindukanmu sekarang.

Waktu terus berjalan dan terus berputar. Tanpa terasa sudah lewat dari pukul sepuluh malam. Ibu, dosa apakah yang telah aku lakukan padamu. Dosa apakah yang telah melukai perasaanmu hingga aku merasa begitu bersalah. Sedangkan sekarang aku jauh. Pastinya aku tak dapat menemuimu sekarang. Karena sekarang sudah hampir tengah malam. Ibu maafkan aku jika memang aku telah menyakiti perasaanmu. Maafkan aku Ibu.

Ya Allah, di saat seperti inilah aku begitu rapuh. Hingga aku harus menanggung beban hidup sendirian, tanpa ada yang meringankan. Tanpa ada yang dapat membantu, meski hanya dengan mendengarkan ceritaku. Ya Rabb, ampuni hamba, jikalau hamba terlalu banyak menyakiti hati Ibu. Bukakalah pintu hatinya untuk memaafkan aku Ya Rabb....

Ibu.... Maafkan aku yang banyak dosa ini..... Ibu .....
Hatiku terus berteriak dalam kegalauan yang teramat sangat.

Dalam keadaan seperti ini aku sering kali teringat pada pekerjan-pekerjaan yang sering kali di kerjakan Bapak. Padahal aku tahu beliau sekarang sudah sering merasa kelelahan saat sehabis dari kebun atau sawah. Dan aku sendiri sudah jarang sekali membantu melakukan sesuatu yang biasanya dapat aku kerjakan di sawah ataupun di kebun. Semenjak aku aktif dalam dunia pers kampus aku jadi jarang sekali membantu pekerjaan Bapak di sawah.

Memang ini adalah jalan yang aku pilih dengan berbagai pertimbangan sebelumnya. Dunia pers, atau dunia jurnalistik yang aku geluti sekarang ini menjadi banyak menyita waktuku. Bahkan terkadang aku pulang kerumah, dan hanya semapat tidur di rumah barang semalam saja. Sungguh sebenarnya aku juga tak enak dengan keadaan yang seperti ini. Namun harus bagaimana lagi. Setiap aku berada di rumah aku serasa dikejar-kejar waktu untuk segera kembali ke kampus. Seolah-olah ada sesuatu yang harus aku selesaikan. Dan itu yang membuatku sesegera mungkin untuk kembali ke kampus. Tapi kini setelah aku berada di kampus beberapa hari, ternyata hari-hariku begitu membosankan. Dan aku benar-benar merindukan sosok seorang Ibu berada di sampingku setiap saat.

Sesekali aku tengok sahabatku masih sibuk dengan komputernya. Kulihat langit malam ini tak begitu cerah. Ada seberkas cahaya bulan yang hampir menemui purnama untuk beberapa hari lagi. Cahayanya tersaput awan yang masih tersisa. Setelah sore tadi meninggalkan guyuran yang cukup deras. Hingga masih banyak tersisa genangan di sana-sini.

Kini anganku menerawang semakin jauh. Setelah aku teringat bahwa sekarang aku sudah menempuh studiku selama hampir empat tahun. Sedangkan sampai sekarang aku belum mengerjakan tugas akhir. Aku jadi kembali teringat Ibu dan Bapakku. Aku memikirkan kapan aku akan lulus dari kuliah ini. Dan berapa banyak lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk aku dapat menyelesaikan studiku ini. Terkadang terbersit pikiran untuk mencari pekerjaan. Tapi kembali lagi, bahwa sekarang aku masih aktif kuliah. Sehingga rasa-rasanya tidak mungkin untuk aku mendapatkan pekerjaan yang dapat dilakukan setelah aku kuliah. Ibu...., Bapak.... Maafkan aku yang belum bisa meringankan beban hidupmu. Bahkan untuk sekedar uang saku saja aku masih membebanimu. Maafkan aku.

Ya Rabb, di saat seperti ini aku merasa begitu jauh dari orang-orang yang menyayangiku. Aku jauh dengan Ibu juga Bapakku. Seakan tak ada seorangpun yang mempedulikanku. Dan di saat seperti ini aku ingin kembali mengadap Mu. Dengan segala kerendahan hati dan kekhilafan yang selama ini aku lakukan. Dengan berharap Kau mengampuninya.

Ya Rabbi, sungguh aku ingin kembali menghadap Mu. Tapi kenapa kaki ini terasa begitu berat untuk aku langkahkan untuk mengambil air wudlu. Berat sekali terasa kaki ini. Seolah ada beban yang begitu besar telah menimpaku, hingga aku tak mampu untuk melangkahkan kaki ini. Ya Rabbi, ampunilah hamba-Mu ini.

Sekarang aku mencoba paksakan untuk melangkahkan kaki. Setapak demi setapak menuju kamar mandi untuk mengambil air wudlu. Aku berharap kan kutemukan kedamaian nantinya. Dan akupun berharap kan ada lebih banyak lagi air mata yang akan mengalir dari mata ini. hingga berkurang beban hidup yang selama ini aku rasakan. Air mata yang mengalir seiring dengan datangnya ampunan dari-Mu Ya Rabb.... Juga air mata yang terus mengalir bersama dengan kerelaan dari Ibuku yang kini jauh di sana.

Ibu aku merindukanmu kini
Ibu, maafkan aku ...
Maafkan aku Ibu ...
***

Kudus, 6 Februari 2006 
Wahyu Arzetha

Menenggak Ruh yang Terpendar

Puisi Zaki Amaly

Etape yang melelahkan
Menguras seisi pikirku
Petang ku dedah
Siang ku hantam
Merobohkan selubung keraguan

Semakin kumerebah
Tanda itu bertambah silau
Ku tak dapat menangkap sinar hangatnya
Ia malah menusuk mata batinku

Ku bangkit dan merengkuh
Tak kuasa menaha perih
Kakiku terusung nyeri
Menjalar selonjor tubuh
Ah…
Patahnya tiada terperi

Hanya tersisa di lorong kesadaran
Terlihat biru keceriaan menenggak
Ruh diriku yang terpendar
Terima kasih Tuhan

Kudus, 1 maret ’08
(Bahauddin)

Diskusi yuuuuk....

Salam Budaya!

Inilah cita-cita yang selama ini diimpikan oleh sebagian besar kru Paradigma STAIN Kudus. Ya, memiliki sebuah ruang diskusi untuk ngerumpi dan ngobrol bareng tentang apa saja yang berkaitan tentang sastra. Hal ini tak lain karena dari sekian banyak kru Paradigma mayoritas mereka sangat antusias terhadap sastra. Meskipun hanya sebagai penikmat, namun mereka mampu mengapresiasi dengan baik. Bahkan dari mereka juga telah lahir beberapa karya yang layak untuk dibaca, layak juga untuk diapresiasi.

Ruang diskusi ini diberi nama “Pojok Sastra Paradigma”. Tak tau dari mana awalnya hingga muncul nama itu. Karena sebelumnya pernah juga digagas sebuah agenda kajian tentang sastra, namun berkali-kali tak juga terwujud. Bahkan hampir juga menerbitkan sebuah buletin sastra, tapi juga tak kunjung terbit.

Berbeda dengan yang ini, meskipun dengan ketidak sengajaan “Pojok Sastra Paradigma” sepertinya menunjukkan komitmen yang kuat untuk terus berlanjut. Pojok Sastra Paradigma ini pun baru saja disepakati beberapa saat yang lalu. Tepatnya hari ini, Selasa 4 Maret 2008 oleh empat orang kru LPM Paradigma yang secara tidak sengaja berkumpul di kantor redaksi.
Untuk kegiatan Pojok Sastra Paradigma ini nantinya akan diadakan dalam bentuk diskusi berkala dua mingguan dan ditetepkan setiap hari Senin pada jam 13.30 WIB. Bagi temen-temen yang tertarik dengan acara ini, khususnya temen-temen yang masih kuliah di STAIN Kudus silahkan saja datang ke kantor redaksi LPM Paradigma. Karena acara ini akan terbuka untuk umum. Tentunya pada waktu yang telah ditentukan.

Dan akhirnya selamat atas terbentuknya “Pojok Sastra Paradigma”. Semoga akan menambah ilmu dan kreativitas kita.