Selasa, 04 Maret 2008

Kerinduan Yang Mendalam

Cerpen Wahyu Arzetha

Tanpa terasa air mata ini mengalir dari sela-sela kelopak mata yang sejak tadi aku pejamkan. Terus mengalir dan semakin deras. Hingga membasahi sebagian dari wajahku. Sedang aku masih tetap pada posisiku semula, duduk bersila manghadap kiblat. Memang sehabis sholat Isya’ ini aku sengaja tidak segera bangkit dari tempatku. Entah apa yang telah menahanku, dan membawaku pada kegelisahan yang teramat dalam.

Kini tarikan nafasku semakin berat, dan itu menandakan bahwa aku memang sedang menangis. Makin lama hidung ini pun semakin basah. Dan semakin keras pula tarikan nafasku. Aku benar-benar tidak peduli dengan keadaan di sekitarku. Meski ada seorang kawan di sebelahku. Dia yang sudah lama menjadi temanku dalam menjalani hari-hariku. Dia adalah sahabatku di salah satu lembaga pers yang ada di kampusku. Ah, tapi ini memang persoalanku sendiri, dan mungkin tak perlu diketahui siapapun.

Aku rasa dia cukup pengertian dengan keadaanku sekarang. Terbukti dia tak menyapaku sedikitpun meski dia ada disampingku. Bahkan dia sekarang baru saja selesai mengerjakan sholat isya’ di tempat yang tadi aku tempati.

Selesai sholat dia langsung kembali menghadap komputer satu-satunya di tempat ini. Sebuah kantor redaksi yang hanya memiliki sebuah komputer. Dan hal itu membuat setiap kali menjelang penerbitan kita harus melakukan kerja lembur. Sebuah ruangan yang sebenarnya tak layak untuk disebut sebagai sebuah kantor redaksi. Karena ukuran ruangan yang hanya sekitar tiga kali tiga meter, hingga membuat kami sering kali merasa terlalu sempit. Yah, tapi itulah keadaan dari ruang kerja kami di sebuah lembaga pers mahasiswa.

Meski aku tak melihatnya secara langsung, tapi aku tahu kalau dia sedang asyik dengan kebiasaannya mengutak-atik komputer satu-satunya itu. Karena secara tidak langsung aku mendengar suara keyboard yang tak henti-hentinya dan tanpa mengenal lelah dia terus ditekan-tekan jari satu demi satu. Aku masih tertunduk dengan telapak tangan yang terus melekat di muka yang semakin terasa basah. Meski tanpa sesenggukan mataku terus mengalirkan mata airnya. Sekarang aku mencoba mengeringkan tangan dan sebagian wajahku yang sedari tadi telah basah. Meski perasaan gundah ini masih terus menggumpal dalam hati.

Ibu, entah kenapa kini aku sangat merindukanmu. Padahal belum lama aku masih menatapmu dalam setiap kesibukanmu. Tapi dengan tiba-tiba pula aku merasa bahwa aku begitu banyak berdosa padamu. Entah sudah berapa lama aku tidak mencium tanganmu saat aku beragkat ataupun saat aku pulang dari kuliah. Lama sekali. Bahkan aku sendiripun tlah lupa, kapan terakhir kali aku mencium tanganmu saat aku berpamitan untuk berangkat kuliah. Ibu, aku merindukanmu. Ibu, maafkan ananda yang sering kali melupakanmu.

Aku mencoba bangkit untuk mencari suasana baru. Aku langkahkan kaki keluar dari ruang dapur redaksi yang semakin terasa sempit akibat terbitan majalah edisi terbaru ini masih banyak yang belum terdistribusi. Sehingga masih banyak tumpukan majalah-majalah itu di sebagian lantai ruangan. Aku duduk di kursi yang ada di teras kantor. Meski sepi aku tetap saja tak bisa menikmati suasana yang ada. Akupun tak menghiraukan sapaan yang aku dengar dari salah seorang teman perempuanku. Anganku terus menerawang. Hanya ada bayang Bapak dan Ibuku di sana. Entah bagaimana keadaannya sekarang. Ibu, aku merindukanmu sekarang.

Waktu terus berjalan dan terus berputar. Tanpa terasa sudah lewat dari pukul sepuluh malam. Ibu, dosa apakah yang telah aku lakukan padamu. Dosa apakah yang telah melukai perasaanmu hingga aku merasa begitu bersalah. Sedangkan sekarang aku jauh. Pastinya aku tak dapat menemuimu sekarang. Karena sekarang sudah hampir tengah malam. Ibu maafkan aku jika memang aku telah menyakiti perasaanmu. Maafkan aku Ibu.

Ya Allah, di saat seperti inilah aku begitu rapuh. Hingga aku harus menanggung beban hidup sendirian, tanpa ada yang meringankan. Tanpa ada yang dapat membantu, meski hanya dengan mendengarkan ceritaku. Ya Rabb, ampuni hamba, jikalau hamba terlalu banyak menyakiti hati Ibu. Bukakalah pintu hatinya untuk memaafkan aku Ya Rabb....

Ibu.... Maafkan aku yang banyak dosa ini..... Ibu .....
Hatiku terus berteriak dalam kegalauan yang teramat sangat.

Dalam keadaan seperti ini aku sering kali teringat pada pekerjan-pekerjaan yang sering kali di kerjakan Bapak. Padahal aku tahu beliau sekarang sudah sering merasa kelelahan saat sehabis dari kebun atau sawah. Dan aku sendiri sudah jarang sekali membantu melakukan sesuatu yang biasanya dapat aku kerjakan di sawah ataupun di kebun. Semenjak aku aktif dalam dunia pers kampus aku jadi jarang sekali membantu pekerjaan Bapak di sawah.

Memang ini adalah jalan yang aku pilih dengan berbagai pertimbangan sebelumnya. Dunia pers, atau dunia jurnalistik yang aku geluti sekarang ini menjadi banyak menyita waktuku. Bahkan terkadang aku pulang kerumah, dan hanya semapat tidur di rumah barang semalam saja. Sungguh sebenarnya aku juga tak enak dengan keadaan yang seperti ini. Namun harus bagaimana lagi. Setiap aku berada di rumah aku serasa dikejar-kejar waktu untuk segera kembali ke kampus. Seolah-olah ada sesuatu yang harus aku selesaikan. Dan itu yang membuatku sesegera mungkin untuk kembali ke kampus. Tapi kini setelah aku berada di kampus beberapa hari, ternyata hari-hariku begitu membosankan. Dan aku benar-benar merindukan sosok seorang Ibu berada di sampingku setiap saat.

Sesekali aku tengok sahabatku masih sibuk dengan komputernya. Kulihat langit malam ini tak begitu cerah. Ada seberkas cahaya bulan yang hampir menemui purnama untuk beberapa hari lagi. Cahayanya tersaput awan yang masih tersisa. Setelah sore tadi meninggalkan guyuran yang cukup deras. Hingga masih banyak tersisa genangan di sana-sini.

Kini anganku menerawang semakin jauh. Setelah aku teringat bahwa sekarang aku sudah menempuh studiku selama hampir empat tahun. Sedangkan sampai sekarang aku belum mengerjakan tugas akhir. Aku jadi kembali teringat Ibu dan Bapakku. Aku memikirkan kapan aku akan lulus dari kuliah ini. Dan berapa banyak lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk aku dapat menyelesaikan studiku ini. Terkadang terbersit pikiran untuk mencari pekerjaan. Tapi kembali lagi, bahwa sekarang aku masih aktif kuliah. Sehingga rasa-rasanya tidak mungkin untuk aku mendapatkan pekerjaan yang dapat dilakukan setelah aku kuliah. Ibu...., Bapak.... Maafkan aku yang belum bisa meringankan beban hidupmu. Bahkan untuk sekedar uang saku saja aku masih membebanimu. Maafkan aku.

Ya Rabb, di saat seperti ini aku merasa begitu jauh dari orang-orang yang menyayangiku. Aku jauh dengan Ibu juga Bapakku. Seakan tak ada seorangpun yang mempedulikanku. Dan di saat seperti ini aku ingin kembali mengadap Mu. Dengan segala kerendahan hati dan kekhilafan yang selama ini aku lakukan. Dengan berharap Kau mengampuninya.

Ya Rabbi, sungguh aku ingin kembali menghadap Mu. Tapi kenapa kaki ini terasa begitu berat untuk aku langkahkan untuk mengambil air wudlu. Berat sekali terasa kaki ini. Seolah ada beban yang begitu besar telah menimpaku, hingga aku tak mampu untuk melangkahkan kaki ini. Ya Rabbi, ampunilah hamba-Mu ini.

Sekarang aku mencoba paksakan untuk melangkahkan kaki. Setapak demi setapak menuju kamar mandi untuk mengambil air wudlu. Aku berharap kan kutemukan kedamaian nantinya. Dan akupun berharap kan ada lebih banyak lagi air mata yang akan mengalir dari mata ini. hingga berkurang beban hidup yang selama ini aku rasakan. Air mata yang mengalir seiring dengan datangnya ampunan dari-Mu Ya Rabb.... Juga air mata yang terus mengalir bersama dengan kerelaan dari Ibuku yang kini jauh di sana.

Ibu aku merindukanmu kini
Ibu, maafkan aku ...
Maafkan aku Ibu ...
***

Kudus, 6 Februari 2006 
Wahyu Arzetha

0 komentar: